Headline: Tabir Zaman: Polemik Hijab di Tengah Arus Modernisasi
Edisi Khusus "Suara Air," 17 Agustus 1901
Oleh: Raden Mas Suryokusumo, Kontributor Khusus
Semarang, Hindia Belanda – Hangatnya perdebatan mengenai peran perempuan dalam masyarakat modern terus bergulir di Hindia Belanda. Salah satu aspek yang paling mencuat adalah persoalan hijab, atau tabir, yang dikenakan oleh perempuan Muslim. "Suara Air," sebagai corong aspirasi masyarakat, merasa terpanggil untuk mengupas tuntas isu ini dari berbagai sudut pandang.
Hijab: Antara Tradisi dan Emansipasi
Sejak dahulu kala, hijab telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas perempuan Muslim di berbagai belahan dunia, termasuk di tanah Jawa ini. Bagi sebagian besar masyarakat, hijab adalah simbol kesopanan, kehormatan, dan ketaatan pada ajaran agama Islam. Ia dianggap sebagai pelindung dari pandangan yang tidak senonoh dan godaan duniawi.
Namun, di era modernisasi ini, suara-suara sumbang mulai bermunculan. Kaum terpelajar, terutama mereka yang mengenyam pendidikan Barat, mempertanyakan relevansi hijab dalam konteks kemajuan zaman. Mereka berpendapat bahwa hijab adalah penghalang bagi perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan publik, menghambat perkembangan intelektual, dan mengekang potensi diri.
Pandangan Ulama dan Tokoh Masyarakat
"Suara Air" berkesempatan mewawancarai Kiai Haji Ahmad Dahlan, seorang ulama muda progresif dari Yogyakarta, mengenai pandangannya tentang hijab. Beliau menjelaskan bahwa esensi dari hijab bukanlah sekadar kain penutup kepala, melainkan lebih pada upaya menjaga kesucian hati dan perilaku.
"Hijab yang sejati adalah hijab yang terpancar dari akhlak mulia. Menutup aurat adalah wajib, tetapi lebih penting lagi adalah menjaga lisan, perbuatan, dan pikiran dari hal-hal yang buruk," tutur Kiai Dahlan dengan tenang.
Beliau menambahkan bahwa perempuan Muslim memiliki hak untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya dan berkontribusi bagi masyarakat, tanpa harus merasa terhalangi oleh hijab. Yang terpenting adalah tetap berpegang teguh pada nilai-nilai agama dan moralitas.
Pandangan senada juga diungkapkan oleh Raden Ajeng Kartini, seorang tokoh emansipasi perempuan yang gigih memperjuangkan hak-hak kaumnya. Dalam surat-suratnya yang menggugah, Kartini mengungkapkan kerinduannya akan perempuan Jawa yang berpendidikan, mandiri, dan berani menyuarakan pendapatnya.
"Saya tidak menentang hijab secara mutlak, tetapi saya menentang pemahaman yang sempit dan kaku tentang hijab. Perempuan harus diberi kebebasan untuk memilih, apakah ia ingin mengenakan hijab atau tidak, asalkan ia melakukannya dengan kesadaran penuh dan tanpa paksaan," tulis Kartini dalam salah satu suratnya.
Perempuan dan Pendidikan: Kunci Kemajuan Bangsa
Salah satu argumen yang sering dilontarkan oleh para pendukung emansipasi adalah bahwa hijab menghambat perempuan untuk mengakses pendidikan. Mereka berpendapat bahwa banyak sekolah dan lembaga pendidikan yang melarang perempuan berhijab, sehingga mereka kehilangan kesempatan untuk mengembangkan diri.
Menanggapi hal ini, beberapa tokoh pendidikan berinisiatif mendirikan sekolah-sekolah khusus perempuan yang memberikan kebebasan bagi siswinya untuk memilih apakah ingin mengenakan hijab atau tidak. Sekolah-sekolah ini bertujuan untuk mencetak perempuan-perempuan cerdas, berakhlak mulia, dan siap berkontribusi bagi kemajuan bangsa.
"Kami percaya bahwa pendidikan adalah kunci untuk membuka pintu kemajuan bagi perempuan. Kami tidak ingin ada perempuan yang merasa terdiskriminasi hanya karena pilihannya untuk mengenakan atau tidak mengenakan hijab," ujar Nyi Hadjar Dewantara, seorang tokoh pendidikan perempuan yang aktif memperjuangkan hak-hak perempuan.
Hijab dalam Perspektif Hukum Adat dan Kolonial
Perdebatan mengenai hijab juga merambah ke ranah hukum. Di satu sisi, hukum adat Jawa memiliki aturan-aturan tersendiri mengenai pakaian dan perilaku perempuan. Di sisi lain, pemerintah kolonial Belanda juga memiliki kebijakan-kebijakan yang terkadang bertentangan dengan nilai-nilai budaya dan agama masyarakat setempat.
Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa hukum adat harus dihormati dan dilestarikan, namun juga harus disesuaikan dengan perkembangan zaman. Sementara itu, pemerintah kolonial cenderung bersikap netral dalam masalah ini, asalkan tidak ada tindakan yang mengganggu ketertiban umum.
Suara dari Akar Rumput
"Suara Air" juga berusaha menjangkau suara-suara dari akar rumput, mewawancarai perempuan-perempuan biasa dari berbagai lapisan masyarakat. Sebagian besar dari mereka menyatakan bahwa hijab adalah bagian dari identitas mereka sebagai Muslimah dan mereka merasa nyaman dan aman mengenakannya.
"Saya merasa lebih percaya diri dan terlindungi ketika mengenakan hijab. Hijab adalah pengingat bagi saya untuk selalu menjaga diri dan bertingkah laku yang baik," ujar Fatimah, seorang ibu rumah tangga dari kampung nelayan.
Namun, ada juga sebagian kecil perempuan yang merasa tertekan oleh lingkungan sekitar karena pilihannya untuk tidak mengenakan hijab. Mereka seringkali menjadi bahan gunjingan dan mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan.
Menuju Titik Temu
Perdebatan mengenai hijab adalah cerminan dari kompleksitas persoalan perempuan di era modernisasi. Tidak ada jawaban tunggal yang bisa memuaskan semua pihak. Yang terpenting adalah mencari titik temu yang bisa mengakomodasi berbagai kepentingan dan pandangan.
"Suara Air" mengajak semua pihak untuk berdiskusi secara terbuka dan jujur, dengan mengedepankan semangat toleransi dan saling menghormati. Kita harus menghindari sikap fanatisme dan ekstremisme, serta senantiasa mengutamakan kepentingan bangsa dan negara.
Penutup
Sebagai penutup, "Suara Air" ingin menyampaikan pesan bahwa hijab bukanlah satu-satunya ukuran ketaatan seseorang pada agama. Lebih dari itu, yang terpenting adalah kualitas iman, akhlak, dan kontribusi positif bagi masyarakat.
Semoga artikel ini dapat memberikan pencerahan dan inspirasi bagi kita semua untuk terus berjuang demi kemajuan perempuan dan kemajuan bangsa.
[Keterangan Foto: Perempuan Jawa mengenakan kebaya dan kain batik, sebagian mengenakan kerudung, di depan sebuah toko di Semarang. Foto diambil sekitar tahun 1900.]
Catatan: Artikel ini adalah fiksi sejarah yang terinspirasi dari isu-isu yang relevan pada masa itu. Tokoh-tokoh seperti Kiai Haji Ahmad Dahlan, Raden Ajeng Kartini, dan Nyi Hadjar Dewantara adalah tokoh nyata yang pemikirannya disesuaikan dengan konteks artikel. "Suara Air" adalah nama surat kabar fiktif yang digunakan sebagai wadah untuk menyampaikan narasi.